Banyak pihak menilai, Mahkamah Agung (MA) masih kotor. Masih sarang mafia perkara. Seperti Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII), Teten Masduki meragukan Pengadilan Pajak berada dibawah MA, karena MA masih kotor. “Sampai sekarang MA masih kotor, oleh karena itu saya ragu Pengadilan Pajak berada dibawah MA,” kata mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) ini.

Keraguan yang sama disampaikan pengamat pajak dari UI, Darussalam. Ia mengatakan, kalau MA-masih seperti sekarang (masih kotor), Pengadilan Pajak akan menjadi kotor. “Pengadilan Pajak biar seperti sekarang saja,” kata dia. Namun, tidak sedikit orang juga yang menilai, penilaian miring seperti di atas bukan berdasarkan data yang update. Sekarang pihak MA sendiri sedang melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, meningkatkan citra Pengadilan Indonesia, terutama MA sendiri. Sudah banyak hakim dipecat karena melakukan penyimpangan. Berikut penjelasan Ketua MA, Harifin Andi Tumpa, ketika ditemui di kantornya, Kamis (24/2).

Masih banyak orang belum puas dengan kinerja Pengadilan kita, terutama Mahkamah Agung (MA). Apa ada terobosan dalam kepemimpinan Anda?

Tentu ada. Dan apa yang dilakukan, untuk perbaikan lembaga peradilan, itu misi yang diemban oleh semua stakeholder di MA. Tentu hal ini harus dimotori oleh pimpinan. Sehingga langkah-langkah yang diambil MA meningkatkan citra lembaga peradilan. Pertama, kita akan melakukan transparansi. Bagaimana agar para pencari keadilan itu mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Seperti misalnya, mengenai biaya perkara. Biaya perkara itu harus disampaikan kepada public. Kalau tidak disampaikan, pihak yang berperkara bisa dibodohin oleh para petugas. Katakanlah misalnya biaya perkara cuma Rp 200.000, bisa karena tidak diumumkan, bisa Rp 300.000.

Hal lain kenapa pentingnya transparansi itu karena dapat dijadikan control oleh masyarakat. Jadi putusan-putusan yang dibuat oleh para hakim itu bisa dibaca oleh public, dan public bisa memberikan kritik. Di sisi lain para hakim dituntut untuk membuat keputusan yang benar. Jangan sembarang membuat putusan. Kalau hakim sembarang, dia bisa mendapatkan kritik. Jadi transparansi bagi lembaga peradilan itu sangat penting. Kedua, bagaimana kita meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Karena ilmu yang harus dikembangkan itu harus betul-betul mampu, demi menjawab tantangan di tengah masyarakat. Ketiga, ilmu saja tidak cukup. Bagaimana hakim itu bisa memelihara integritas.

Nah, oleh karena itu disamping pembinaan yang dilakukan secara terus-menerus ini, juga dilakukan dengan pengawasan. Jadi kalau hakimnya tidak bisa dibina, ya, apa boleh buat dipecat. Ada beberapa hakim, yang lalu, melakukan kesalahan, dipecat. Secara keseluruhan tahun 2010, kita memberikan sanksi kepada para hakim itu kurang lebih 105 hakim. Yang dipecat empat orang. Dari lima yang diajukan ke majelis kehormatan hakim hanya empat yang dipecat. Tahun 2009, ada lima hakim yang dipecat. Sanksi-sanksi yang diberikan ini, ada yang sedang, ada yang ringan, dan ada yang berat. Siapa yang menerima sanksi seperti ini maka tunjangan renumerasinya dipotong.

Kesalahan mereka adalah seperti bertemu dengan para pihak yang berperkara. Selain itu karena mentang-mentang keluarga perkaranya diterima atau ditolak. Ini menyangkut moral, ada beberapa criteria kita. Kalau berbicara mengenai uang, itu sudah tidak ada ampun. Kalau terbukti terima duit tidak ada ampun. Ada yang hanya Rp 50 juta kita langsung pecat. Jumlah Rp 50 juta kelihatan kecil, namun yang tidak kelihatan, kita tak tahu. Makanya kita pecat hakim seperti ini.

Jadi apa yang kita lakukan itu adalah untuk terus meningkatkan citra kita. Hanya memang saya sayangkan, kita sudah melakukan perbaikan seperti ini, namun masyarakat memaksakan keadilan yang dia rasakan adil, seperti di Tumanggung, Jawa Tengah, beberapa saat lalu. Ini suatu hal barangkali yang perlu diketahui masyarakat, bahwa rasa keadilan yang mereka punya itu, itu kan melalui proses hukum. Jadi keadilan itu jangan dilihat dari salah satu pihak saja. Itu sangat subjektif. Keadilan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, itu keadilan yang mana ?

Karena keadilan itu harus melalui proses hukum. Tidak bisa keadilan dilihat sendiri-sendiri. Nah, ini yang barangkali masyarakat tak tahu, bahwa keadilan itu harus menempuh proses seperti itu. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya selalu mengkritik bahwa banyak perkara yang bebas. Kalau proses perkara itu memang ending-nya bebas, itulah keadilan hukum itu. Jadi ini ada orang yang melihat, keadilan itu seolah-olah berdiri sendiri. Sehingga dianggap, kadang-kadang antara hukum dan keadilan itu berbenturan. Menurut saya, hukum dan keadilan itu suatu rangkaian. Tidak bisa dikatakan hukum dan keadilan itu terpisah.

Terkait transparansi, apa dibuat seperti yang dilakukan di Mahkamah Konsitusi (MK)?

Kami ingin sekali seperti yang dilakukan di MK. Tetapi ada beberapa hal yang tidak memungkinkan untuk itu. Pertama, perkara di sini terlalu banyak. Kita memeriksa dan memutus perkara dalam satu bulan itu sekitar 1.200 – 1.300 perkara. Kedua, system di MK itu berbeda dengan di MA. Kalau di MK musyawarah dulu baru diputus, sehingga itu selesai semua kan ? Hal ini karena memang perkaranya cuma satu biji atau dua biji satu bulan. Kalau di MA, perkara-perkara satu kali sidang itu, satu majelis itu, 50 – 60 perkara. Nah, karena perkara itu beredar, masing-masing hakim itu sudah mempunyai pendapat. Nah, pada waktu sidang itulah dimusyawarahkan. Kalau sudah setuju semua langsung diucapkan. Jadi tidak mungkin disiapkan dulu baru diputuskan. Jadi memang kami mengerti bahwa keluhan masyarakat kadang-kadang kita bisa mengerti. Sudah bertahun-tahun dia berperkara tapi kok tidak segera memperoleh hasilnya.

Sejak tahun 2010, saya sudah membuat SK bahwa penyelesaian perkara di MA, mulai diterima sampai dikirimnya kembali perkara itu ke pengadilan adalah satu tahun. Ini adalah suatu terobosan yang saya pikir bagus. Hal seperti ini sangat penting. Karena selama ini tidak ada ukuran. Karena tidak ada ukuran, bisa dua tahun, tiga tahun, empat tahun bahkan sampai lima tahun. Jadi sekarang sudah ada, namun belum bisa terlaksana, tapi paling tidak ada control bagi para hakim dan panitera yang melakukan itu. Kenapa kamu tidak melaksanakan SK ini ?

Sekarang kelihatannya fungsinya ada. Jadi kita melihat sekarang itu, ada perkara-perkara yang masuk itu, ada yang dua bulan sudah putus, ada yang tiga bulan sudah putus. Itu adalah suatu pengaruh yang baik. Walaupun ada suatu pengaruh bahwa SK itu belum bisa cepat dilaksanakan. Itu karena perkara begitu banyak. Tahun 2010, kita terima perkara 13.400 perkara. Tapi kita bisa memutuskan 13.800 perkara karena digabung dengan tunggakan sebelumnya. Jadi setiap tahun tak bisa kosong di sini. Jadi bayangkan perkara masuk bulan 11 (red-November) bulan 12 (red-Desember). Ya otomotis bisa diputus pada bulan 12. Jadi itu kalau dibilang ada penumpukan perkara di MA itu sesungguhnya, tidak terlalu benar, karena perkara itu tak pernah berhenti. Putus, ada yang masuk lagi.

Kemudian yang lain, rencana untuk tahun 2011, agar mempergunakan system kamar. Karena selama ini ada yang mengeluh bahwa bagaimana saya bisa mempercayai putusan itu, karena hakim-hakim yang memutus perkara saya itu kok dari latar belakang pengalaman dan ilmunya lain dengan perkara saya. Sehingga saya pikir ini penting, dan ini sudah disepakati. Kita akan merumuskan dengan baik. Kemungkinan ada lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana, kamar agama, kamar tata usaha negara, dan kamar militer. Ini nanti tidak ada lagi, yang kamar militer bisa mengadili perkara perdata. Karena selama ini kan, karena dia hakim agung, tidak memakai system kamar. Boleh-boleh saja. Semuanya boleh. Kita nanti akan menfokuskan, bahwa hakim-hakim itu akan tekun pada spesialisasi. Karena disamping orang memerlukan kecepatan, orang memerlukan keakuratan putusannya. Cepat tetapi keakuratan putusan itu tak bisa dipertanggungjawabkan, salah besar jadinya.

Pada umumnya negara maju sudah membuat system kamar. Seperti di Belanda misalnya. Ketua MA Belanda tahun lalu datang ke sini, dan kita tanya semua. Dan mungkin dalam waktu dekat kita akan ke sana, untuk melakukan studi banding. Pertengahan tahun ini kita akan mulai melaksanakan ini system kamar ini. SDM-nya tinggal kita bagi.

Cukup tenaga yang ada sekarang?

Nah, itulah masalahnya. Kalau kita lihat perkara sekarang 43% adalah perkara perdata umum, 40% perkara pidana. Ini berarti 83% itu adalah berasal dari pengadilan umum dan hakimnya mempunyai keahlian perdata dan pidana. Perkara Tata Usaha Negara (TUN) 11%, Perkara agama 4,5% dan perkara militer cuma 1,5%. Nah, idealnya untuk system kamar itu, mestinya yang menguasai perdata-pidana itu 83%. Jadi proporsional. Dan sampai saat ini belum.

Teknis pelaksanaannya nanti mungkin sedikit bermasalah, tapi ini suatu resiko menerapkan suatu system baru. Karena kalau kita tidak melakukan itu, kapan lagi. Dan itu, nanti personilnya bisa menyusul. Jadi kita berharap, kita tetap melaksanakan ini, walaupun kemudian nanti masih ada hambatan, tetapi saya pikir kalau saya tak mulai kapan lagi. Dengan ini bisa menyelesaikan perkara. Harapan kita begini. Tapi yang bekerja keras adalah yang menangani perkara pidana dan perdata. Yang perkara agama, militer setiap tahun perkaranya cepat selesai. Ini salah satu resiko. Sistem seperti ini adalah harapan masyarakat. Jangka panjangnya lebih bagus. Ada beberapa keuntungan kalau kita pakai system kamar. Pertama, hakim-hakim yang menangani perkara lebih spesialis. Mereka mempunyai keahlian khusus sesuai dengan keahliannya. Kedua, bisa lebih terkontrol. Ketiga, tidak terjadi disparitas atau kesenjangan putusan, yang berbeda-beda, karena kamarnya kecil, dan jumlahnya terbatas. Sehingga kalau ada masalah yang crucial dia rembukan antara sesama anggota kamar. Jadi keuntungannya banyak sekali.

Hanya memang dalam masa peralihan itu akan terjadi stagnan. Saya menyadari itu, tapi jalan terus. Saya harus membuat tonggak sejarah. Saya bersyukur sekali bahwa mereka-mereka yang di MA ini mau menerima perubahan. Karena yang paling sulit sebenarnya adalah melakukan perubahan itu. Setiap ada perubahan, selalu ada resisten. Kita lakukan dengan kesabaran. Tahun 2010, kita mulai, semua hakim-hakim agung, kita kumpul, untuk bagaimana perlunya perubahan itu. Kita pakai guru besar dalam bidang Ilmu Manajemen dari UI, Rhenald Kasali. Beliau menjelaskan, bagaimana melakukan perubahan itu. Beliau mengatakan, pentingnya perubahan demi kemajuan. Apa yang saya inginkan untuk berubah.

Apa prioritas pelaksanaan Cetak Biru MA untuk tahun-tahun ke depan, 2010 – 2035?

Kita me-launching cetak biru baru mulai Oktober tahun 2010. Jadi kita semua pada waktu launching itu, pada waktu Rapat Kerja Nasional di Balik Papan, kita sampaikan bahwa perlunya perubahan berdasarkan pada cetak biru. Memang ini kita bagi dalam lima periode. Renstranya lima tahun, 2010 – 2014, 2014 – 2019. Nah untuk tahap pertama, salah satu yang paling saya rasakan menanamkan ke depan itu adalah organisasi dan system kamar. Untuk renstra yang pertama. Tentu pembinaan dan pendidikan serta yang lain-lain tetap menjadi perhatian kita. Kita perlu ada focus tertentu yang lebih kita tekankan. Reorganisasi dan perubahan system kamar.

Bagaimana SDM hakim, apa tak baik yang jadi hakim harus dari Perguruan Tinggi Terkemuka saja?

Sebenarnya kualitas dari masing-masing individu tidak bisa ditentukan dari mana dia berasal. Itu adalah dari kemampuan individual. Yang terpenting, bagaimana kita melakukan seleksi seobjektif mungkin. Ini yang terpenting. Dari mana dia berasal itu tidak penting. Tapi bagaimana secara objektif kita melakukan seleksi itu untuk mencari calon yang betul-betul bagus. Sekarang kita dalam tiga tahun terakhir, kita kerjasama dengan UI, kalau bukan UI dengan Universitas Padjadjaran, Bandung untuk membuat soal, dia memeriksa soal dan dia melakukan psiko-test. Itu yang kita lakukan. Mudah-mudahan bisa. Saya melihat begini, walaupun dia berasal dari Universitas Terkemuka, kalau masih baru di tempat bekerja, sama saja, tidak siap. Jadi dia harus tetap dibina. Pembinaan harus terus dilakukan.

Soal pengawasan terhadap hakim, MA kok selalu mengabaikan rekomendasi KY?

Saya kira penilaian itu agak ekstrem. Apa yang direkomendasikan KY, selama itu tidak mengganggu indepensi hakim, kita laksanakan rekomendasi KY. Buktinya, tahu 2010 atas rekomendasi KY, dua dari hakim kita pecat. Ada beberapa rekomendasi untuk dilakukan penindakan, kita lakukan seperti ini. Hanya memang, yang menjadi persoalan ini adalah kalau yang dinilai oleh KY itu menyangkut mengenai teknis putusan, teknis perkara. Misalnya, kenapa hakim itu membebaskan si terdakwa, kenapa gugatan penggugat ditolak, kenapa eksekusi ini ditunda, kenapa eksekusi ini dijalankan, nah ya seperti ini ya kita tak bisa menindaklanjuti.

Kenapa? karena bahwa suatu perkara itu melalui proses hukum. Kalau hukumnya dia terbukti maka dia akan dihukum. Kalau proses hukum dia tidak terbukti maka dia akan bebas. Nah, inilah yang selama ini, yang menjadi permasalahan. Tapi sekarang, dengan KY kami baru mengadakan komunikasi bahwa yang menyangkut teknis, kalau itu direkomendasukan saya kira tidak bisa. Upaya hukum itu ada. Kalau misalnya dia bebas ya bisa kasasi. Kecuali kalau putusan itu diambil atau masalah teknis itu diambil karena ada main-mainnya, main-mainnya hukum, maka kita laksanakan.

Banyak sekali mafia pajak. Bagaimana dengan Pengadilan Pajak?

Saya kira Pengadilan Pajak perlu ada perubahan. Yang pertama, dari segi legalitas perundang-undangan. Itu menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Karena UUD itu mengatakan, kekuasaan kehakiman itu adalah MA dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga peradilan yang ada di bawah MA hanya ada empat, yaitu umum, agama, militer dan TUN. Nah, sedangkan di UU Pengadilan Pajak di situ dikatakan, pembinaan personil organisasi dan keuangan berada dibawah Departemen Keuangan (red-Kementerian Keuangan). Nah, hanya teknis karena dia bisa PK ke MA baru ada hubungan dengan MA. Memang saya kira system Pengadilan Pajak itu memang harus diubah. Seperti bagaimana yang menjadi hakim di situ adalah petugas pajak yang sudah pensiun tapi dia masih di situ. Nah, inilah mungkin, harus adanya reformasi.

Saya berpikiran begini, Pengadilan Pajak itu, ada di empat kota, yakni Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar. Dan Pengadilan Tingkat banding berada di Jakarta. Kalau ada Pengadilan Pajak tingkat banding, perkara pajak selesai di situ, tak perlu ke MA. Karena memang pajak itu memerlukan kecepatan. Kalau sampai ke MA repot lagi nanti. Tunggu-tunggu sampai bertahun-tahun. Ini lebih cepat dan bisa untuk dikontrol. Jadi secara bertingkat itu penting supaya ada control. MA juga mengontrol.

sumber: Wawancara SP dengan Harifin Tumpa, Ketua MA Bangun Tonggak Sejarah Baru: http://www.suarapembaruan.com/politikdanhukum/ketua-ma-bangun-tonggak-sejarah-baru/4248

pewawancara: Siprianus Edi Hardum dan Petrus Christian Mboeik dari Suara Pembaruan