Mahkamah Agung RI segera menindaklanjuti konferensi pejabat peradilan atau International Association for Court Administrator (IACA) yang baru berakhir, Rabu (16/3). Ketua MA Harifin Tumpa mengatakan bahwa pengadilan akan mengutamakan restorative justice pada perkara anak.

Restorative justice adalah proses penyelesaian perkara pidana dengan mengumpulkan pihak berperkara untuk memecahkan masalah tanpa melalui prosedur hukum formal. "Anak-anak tidak perlu diberikan hukuman seperti orang dewasa," kata Harifin di gedung MA kemarin (16/3).

Hukuman paling pas untuk anak-anak, kata Harifin, adalah dengan mengembalikannya kepada orangtua. Sebab, pidana pada anak justru akan berimbas buruk pada perkembangan mereka. "Kami lebih condong pada pemberian pendidikan ke anak," katanya.

Meski begitu, kata Harifin, hukuman kepada anak tetap akan diberikan pada kasus-kasus kriminal serius. Selain itu, tidak adanya sidang terhadap anak bukan berarti lembaga pemasyarakatan untuk anak-anak akan dihapus. "Misalnya orangtua anak tidak mampu, maka anak ini dijadikan anak negara dan karena itu ditampung di lapas anak," katanya.

Kata Harifin, 21 anggota IACA telah sepakat untuk memberi akses keadilan terhadap kaum marjinal seperti perempuan, anak-anak, dan masyarakat miskin. Itu dilakukan dengan program seperti sidang keliling, bantuan hukum, dan membebaskan biaya perkara (prodeo). "Padahal, itu sudah kita lakukan sejak tiga tahun lalu," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan uji materinya menyatakan bahwa usia anak yang sudah bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah antara 12-18 tahun. MK menaikkan usia anak dari sebelumnya 8-18 tahun. Alasannya, usia 8 tahun dianggap masih terlalu belia. Anak belum dewasa dan kesulitan membedakan baik dan buruk. Selain itu, penambahan usia tersebut memberi waktu lapang bagi proses tumbuh kembang anak. (aga/agm)

sumber: jpnn.com