Dalam perkembangan hukum selanjutnya muncullah paradigma sebagian masyarakat yang melek (paham) hukum yang menginginkan adanya perubahan pola pikir para akademisi hukum, terutama pola pikir penegak hukum agar dalam menegakkan hukum jangan hanya selalu mengacu kepada bunyi dan teks undang-undang, tetapi diharapkan adanya terobosan cara berpikir yang lain karena hukum bekerja berdasarkan panduan sebuah peta yang disodorkan kepadanya. Peta tersebut menentukan bagaimana suatu sistem hukum mempersepsikan fungsinya dan bagaimana selanjutnya hukum akan menjalankan pekerjaannya. Perubahan dalam peta panduan tersebut menimbulkan perubahan pula dalam fungsi dan bekerjanya hukum.

Harapan sebagian masyarakat tersebut yang meinginkan cara berpikir penegak hukum yang tadinya formalistik dan legalistik nampaknya sudah didengar oleh para penegak hukum terutama sang Hakim yang sudah dituangkan dalam bebebrapa putusan yang berani menorobos ketentuan perundang-undangan yang selama ini dinilai tidak adil terutama kepada yustisiaben (pencari keadilan) dari kaum proletariat (rakyat jelata) yang selama ini mendambakan bekerjanya hukum dengan memberikan keadilan kepada semua orang tanpa terkecuali, putusan-putusan hakim inilah yang sekarang populer dengan istilah hukum progresif.

Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas terjadilah perubahan paradigma hukum yang selama ini dianut oleh penegak hukum terutama kepada sang pengadil yang bernama Hakim yang tadinya berpikiran legal positivistik berubah menjadi berparadigma hukum progresif dan hal inilah yang banyak didambakan yustisiaben (pencari keadilan) yang selama ini banyak merintih dan menjerit melihat teks perundang-undangan yang dianggap lebih banyak ketidakadilannya terhadap mereka.

2. PEMBAHASAN

a. Pengertian Paradigma

Berbicara istilah paradigma yang berasal dari bahasa Latin yaitu paradeigma yang berarti pola. Konsep paradigma untuk pertama kalinya diintroduksi kembali oleh Thomas S. Kuhn pada tahun 1940-an dalm konteks filsafat sains. Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama, pertama sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan , nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi mapun praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada.

Menurut Robert Friendrichs bahwa:

Paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tetntang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).

Dengan maksud lebih memperjelas lagi, George Ritzer mencoba mentesiskan pengertian yang dikemukakan oleh Kuhn, Mastermann, dan Friedrich, dengan mengartikan paradigma sebagai:

Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra, 2003 : 105)

Bertolak dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas, pengertian paradigma oleh mereka tampaknya diberatkan pada beberapa unsur yaitu:

    1. sebagai pandangan mendasar sekelompok ilmuwan, tentang;
    2. objek ilmu pengetahuan yang seharusnya dipelajari oleh suatu disiplin tentang:
    3. metode kerja ilmiah yang digunakan untuk mempelajari objek itu;

Pengembangan ini tampaknya akan membawa persolalan tersendiri bagi pengertian paradigma. Usaha-usaha pemberian pengertian dengan dasar kepentingan individual dari masing-masing disiplin dapat mengakibatkan timbulnya suatu dampak yang bersifat ganda, yaitu pertama menjadi jelasnya makna paradigma bagi kepentingan masing-masing disiplin yang menjelaskannya. Kedua, mengaburnya makna esensial paradigma, dari hakikat dasar pengertiannya sebagaimana pada mulanya diintroduksi oleh Kuhn.

b. Paradigma Hukum

Bertolak dari gagasan Kuhn tentang perkembangan sains, maka sangatkan menarik mengamati pertumbuhan ilmu hukum. Sejumlah gagasan tentang hukum telah eksis dalam suatu rangkaian pertumbuhan sains yang menyerupai gagasan Kuhn. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari bagian alirannya yang lebih muda (hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam suatu bentuk revolusi sains yang khas. Salah satu bentuk khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini adalah bahwa kehadiran suatu paradigma baru dihadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tergeser atau jatuhnya paradigma itu.

Demikian juga kehadiran paradigma baru didalam masyarakat ilmuwan tidak selalu mengubah gagasan hukum yang telah ada sebelumnya. Sering terdapat perbedaan, bahkan saat krisis berlangsung terhadap eksistensi suatu paradigma, paradigma itu justru mendapatkan penguatan-penguatan baru terhadap keberadaannya.

Dimensi khas dari revolusi sains dalam bidang ilmu ini tampaknya merupakan salah satu aspek keragaman karakter objek dari suatu bidang sains, seperti ketika untuk pertama kalinya Kuhn harus tercengang mendapatkan besarnya perbedaan gagasan tentang epistimologi ilmu-ilmu sosial dan sejarah. Dalam bidang ilmu hukum, revolusi itu telah lebih banyak menyentuh bidang ontologi dan epistimologi llmu hukum tanpa harus mengecilkan arti dimensi aksiologis dari bidang ilmu ini. Sebab pertentangan besar antara aliran hukum alam dengan aliran hukum positif adalah persoalan esensi hukum, sumber, bentuk dan cara berfungsinya. Tersentuh pula dimensi aksiologinya dengan ditolaknya unsur pendekatan sejarah terhadap hukum oleh aliran hukum positif. Hal serupa juga terulang terhadap paradigma hukum positif ketika aliran hukum pragmatis mengajukan gagasan-gagaan tentang hukum. Hukum positif betul-betul mengalami guncangan ekssistensial yang hebat kemudian mengakibatkan melunturnya kepercayaan orang terhadap masalah kepastian hukum dan keadilan yang selama hampir satu setengah abad dimitoskan oleh aliran hukum positif.

c. Paradigma hukum progresif

Berbicara hukum progresif kemungkinan masih terlalu asing di telinga publik yang masih awam hukum dan mungkin termasuk juga yang sudah pernah belajar ilmu hukum kemungkinan besar istilah hukum progresif masih belum terlalu familiar dan belum banyak dikaji karena masalah hukum progresif adalah hal yang baru dalam khazanah keilmuan hukum di Indonesia termasuk di fakultas-fakultas hukum belum ada mata kuliah tentang hukum progresif. Namun diera tahun 2002 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo sudah mengkomunikasikan gagasan tentang Hukum Progresif kepada publik. Gagasan tersebut muncul dari keprihatinan terhadap keterpurukan hukum dan ketidakpuasan publik yang makin meluas terhadap kinerja hukum dan pengadilan. Gagasan tersebut secara intensif dibicarakan di Program Doktor Ilmu Hukum, bahkan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum sudah berhasil menerbitkan majalah yang juga berjudul "Jurnal Hukum Progresif". Sebuah artikel panjang mengenai Hukum Progresif dimuat pada nomor pertama Jurnal tersebut.

Gagasan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang luas dan istilah hukum progresif sekarang sudah mulai banyak digunakan. Pada intinya gagasan Hukum Progresif ingin mendorong komunitas pekerja hukum untuk berani membuat terobosan dalam menjalankan hukum di Indonesia dan tidak hanya dibelenggu oleh pikiran positivistis dan legal analytical. Disarankan tidak hanya untuk rule making, rule abiding, tetapi rule breaking. Terobosan tersebut bukan berarti anarki, karena masih banyak jalan, metode hukum, teori hukum serta paradigma baru yang dapat diajukan untuk melakukan rule breaking tersebut;

Paradigma hukum progresif yang digagas sang begawan hukum Prof. Dr. Satjipto Rahardjo adalah sebuah gagasan yang fenomenal yang ditujukan kepada aparatur penegak hukum terutama kepada sang Hakim agar supaya jangan terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam menegakkan hukum karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak. Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup ( Satjipto Rahardjo, 2009: vii).

Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudakan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.

Dimasa pasca-modern, hukum juga semakin terganggu kedaulatannya. Lalau lintas elektronik, munculnya dunia cyber dan virtual reality, mengaburkan kedaulatan hukum tersebut. Seorang penguasa yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia di negerinya, bisa diajukan ke pengadilan di luar negerinya. Seorang yang akan ditahan oleh polisi di Kanada menolak, karena sebelum mehanan polisi tidak mengucapkan mantra-mantra "miranda rule" yang terkenal itu. Kita tahu, bahwa miranda rule hanya berlaku di Amerika Serikat, tetapi karena siaran media elektronik yang sudah menembus batas negara, menyebabkan orang Kanada mengira bahwa itu berlaku juga di negerinya.

Belajar dari sejarah, apakah kita masih akan berpendapat, bahwa perubahan dimasa datang tidak akan terjadi lagi, apakah dunia akan berhenti berubah dan berkembang dan berhenti pada satu masa tertentu yang dianggap sebagai masa yang sudah mencapai puncak. Hukum progresif tidak berpendapat demikian, melainkan melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti "panta rei" (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa "hukum adalah untuk manusia". Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Kedua hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti waktu orang berpendapat bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian adalah sejalan dengan positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu kita tidak bisa berbuat banyak kecuali hukumnya diubah lebih dahulu. Ketiga hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan prilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diameyral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan aktivitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum yang mengganjal dan menghambat perkembangan (to arrest development) untuk membangun yang lebih baik. Kalau boleh diringkas, hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

d. Kekuatan Hukum Progresif

Meski Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang amat buruk, tetapi kita tidak dapat menutup mata bahwa masih ada kekuatan-kekuatan progresif di negeri ini. mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian , advokat, akademisi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Hal lain yang amat menarik adalah pelaku-pelaku hukum progresif, sedikit ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal. Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakariya, Teguh Prasetyo dan Benyamin Mangkudilaga, bukanlah "Hakim-hakim besar". Sayang, mereka orang-orang marjinal dan kian dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.

Penelitian Bank Dunia "Village Justice in Indonesia" (2004) yang mengoprek manusia-manusia kecil di tingkat lokal menemukan sejumlah idealis dan para vigiliante (pejuang). Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya mereka harus dikucilkan.

Bagaimana bila mereka bersatu atau disatukan, kekuatan mereka akan menjadi lebih besar karena adanya keyakinan bahwa mereka tidak berjuang sendiri sehingga bukan tergolong "manusia aneh" lagi. Menyatukan kekuatan progresif tak perlu menunggu waktu lama karena esok haripun sudah bisa terlaksana. Ia tak perlu menunggu perhimpunan formal. Kekuatan mereka sudah terbangun melalui jaringan informal, melalui pembacaan media yang progresif.

d. Hakim Progresif

Di tengah suasana semangat tinggi untuk mengikis korupsi, sebaiknya kita lebih berkonsentrasi pada kedudukan dan peran hakim dalam pemberantasan korupsi. Secara tegas ingin dikatakan, hakim bersikap progresif dan partisan.

Pilihan itu pasti akan mengundang reaksi, khususnya para pemikir liberal. Di negeri ini, pemikir dan pelaku hukum pro liberal masih kuat. Kenyataan ini akibat kurikulum fakultas hukum yang didominasi kuatnya kultur liberal. Selama ini kita sudah menyerahkan dan memberikan keadilan kepada masyarakat (delivery of justice), termasuk dalam pemberantasan korupsi. Doktrin, asas yang dipakai berasal dari arsenal kesejahteraan liberal, yang menyakralkan kemerdekaan individu. Kita sudah tahu hasilnya dengan mempertahankan status quo demi memenangkan kultur liberal.

Dalam suasana terimpit oleh praktik-praktik korup yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain. Di sini kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi.

Apakah hakim partisan tidak merupakan anomali di tengah "peradaban hukum". Sebagai bangsa merdeka, kita berhak menentukan pilihan tentang apa yang baik bagi bangsa . Jika hakim-hakim liberal kurang berhasil memberantas korupsi, kini saatnya memilih "hakim partisan dan progresif". Inilah salah satu pilihan bangsa Indonesia bangun dari keterpurukan.

Saat ini yang menjadi permasalahan bangsa ini ialah bagaimana mencari hakim progresif dengan sistem perekrutan yang masih memakai cara-cara liberal dan tidak progresif, diperparah dengan pelajaran-pelajaran di fakultas hukum yang tidak memberikan pelajaran hukum progresif tetapi hanya selalu disesaki dengan pelajaran positivistik, hal tersebut menjadi masalah kita semua yang ingin melihat bangsa ini tidak terjatuh ke jurang kemerosotan hukum yang lebih parah lagi dan sudah saatnya memdambakan penegak-penegak hukum yang progresif terutama kepada sang Hakim.

e. Penutup

Paradigma hukum progresif di Indonesia, saat ini masih dianggap hal yang tabu karena dari sekian lama, mahasiswa-mahasiswa hukum, para penegak hukum, hanya diberikan bekal pelajaran hukum di sekolah-sekolah hukum yang berbau positivistik belaka sehingga dengan adanya paradigma hukum progresif ini, kita semua para penegak hukum (terutama hakim) dituntut untuk merubah cara berpikirnya “yang lama” yang selama ini selalu penuh dengan aroma paradigma positivistik. Karena salah satu sumber yang menyebabkan tidak bekerjanya hukum sebagaimana mestinya. Sehingga saat ini sudah saatnya para penegak hukum yang betul-betul ingin melihat hukum beridiri di atas sendi-sendi kebenaran untuk berani memulai dengan paradigma hukum progresif, semoga.

 


DAFTAR PUSTAKA

  • Lili, Rasjidi dan Putra, Wyasa, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju: Bandung.
  • Rahardjo,Satjipto,2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.
  • Rahardjo,Satjipto,2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta.
  • Rahardjo,Satjipto,2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta.
  • Rahardjo,Satjipto,2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta.
  • Rahardjo,Satjipto,2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.

 

Penulis:

Muliyawan, S.H., M.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Palopo

Hasil Survei IKM

ikm

Hasil Survei IPK

ipk

  • Prosedur Berperkara
  • Penelusuran Perkara
  • Jadwal Sidang
  • Direktori Putusan
 

Anda bingung bagaimana berperkara di Pengadilan?

Prosedur dan Biaya BerperkaraSilakan membaca bagaimana prosedur berperkara dan biaya berperkara yang berlaku saat ini pada Pengadilan Negeri Palopo.

 
 

Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)

SIPP Pengadilan Negeri PalopoSistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) memuat informasi detail perkara, jadwal sidang dan statistik perkara pada Pengadilan Negeri Palopo

 
 

Jadwal Sidang Pengadilan Negeri Palopo

Jadwal Sidang Pengadilan Negeri PalopoSelain dapat dilihat pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara, Anda juga dapat melihat jadwal persidangan hari ini dengan meng-click tombol di bawah

 
 

Akses Salinan Elektronik Putusan Pengadilan Negeri Palopo

Direktori Putusan Pengadilan Negeri PalopoPutusan Pengadilan Negeri Palopo yang telah diunggah pada Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat diakses oleh publik